Menelisik Sejarah Tradisi Membeli Baju Tiap Lebaran di Indonesia

Seperti yang kita kenal, lebaran identik baju baru. Lalu perPerkaraan utamanya adalah, mengapa tradisi tersebut bisa ada sampai-sampai mengakar kekar sampai-sampai hari ini?
Momen lebaran merupakan hari perayaan umat muslim seengat baiknya tiap orang berpakaian dan berhias dengan baik walaupun nggak mesti baru. Namun, kenyataanya berlipat-lipat orang yang mengartikan hal ini menjadi “mesti berbelanja baju baru” bahkan sejak era kolonial.
Nah penasaran dengan kisah selengkapnya? Yuk simak ulasannya berikut ini!
Dalam buku sejarah, tradisi ini dimulai sejak zaman Kesultanan Banten
Dilansir dari historia.id, menurut Marwati Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam bukunya yang bertajuk Sejarah Nasional Indonesia, tradisi mengulak barang baru bahkan sudah dimulai sejak 1596 di Banten.
Saat itu, wilayah Banten ada di bawah Kesultanan Banten yang merupakan kerajaan Islam. Menjelang Idul Fitri, mayoritas penduduk Muslim di bawah kerajaan tersebut menyiapkan baju baru.
Namun, saat itu namun kalangan kerajaan yang bisa mengecer baju bagus untuk Idul Fitri, sementara warga biasa sibuk menjahit baju senawak.
Lambat laun diketahui tradisi ini nggak tetapi terjadi di Banten, cela satunya kerajaan Mataram Islam, Yogyakarta. Umat muslim di sana juga melakukan tradisi yang serupa yakni menyiapkan baju baru, terutama saat hari-hari terakhir bulan Ramadan.
Mirip dengan tradisi Eropa saat tahun baru
Menurut catatan Snouck Hurgronje, penasihat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial. Kebiasaan mengulak baju untuk lebaran pada bulan 10 dalam kalender Islam itu mirip dengan kebiasaan orang di Eropa.
“Kebiasaan saling bertamu cukup hari pertama bulan kesepuluh dengan mengenakan pakaian serba baru mengingatkan kita cukup perayaan ingatn baru Eropa,” bening Snouck dalam Islam di Hindia Belanda yang dilansir dari sumber yang sepadan.
Namun, hal ini kemudian dikritik bahkan disebut bagai “sumber bencana ekonomi” oleh pejabat kolonial yakni Steinmetz, Residen Semarang, dan De Wolff, pejabat Hindia Belanda. Bukan tanpa alasa, ternyata kebiasaan ini melangsungkan bupati dan pamong praja bumiputera turut menggunakan dana pemerintah untuk beli baju.
Sempat ada diskriminasi fesyen
Kala itu, bupati dan pamong praja bumiputera mengenakan pakaian campuran ala tradisi setempat, pengaruh Islam, dan ala Eropa. Berbanding terbalik dengan rakyat jelata yang nggak punya uang untuk berbelanja baju baru dan secara implisit mereka memang ditabukan berdaya seperti orang Belanda.
“Pakaian Barat ditaaktelseifn bagi banyak orang, Jika ada pengecualian maka ini berlaku bagi orang-orang yang karib dengan Belanda,” ucap Kees van Dijk dalam Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi
Namun, hal ini kian memudar sejak tahun 1900-an, masyarakat kelas bawah mulai memiliki berlimpah pilihan untuk membayar pakaian baru. Hal ini digambarkan pada Harian De Locomotief edisi 30 Desember 1899, sudah terdapat potret masyarakat nggak mampu uanh mulai berbelanja dan berpakaian ala Barat.
Kebebasan memilih mode pakaian ini berimbas cukup pertumbuhan industri tekstil di Hindia Belanda. Mode pakaian lebih beragam dan pasar penjualan melebar.
Hingga kini, tradisi ini masih terjadi di Indonesia. Namun, yang perlu diingat adalah hal ini bukanlah suatu keperluan. Jadi untuk SoHip yang memang nggak ingin atau punya kebutuhan lain yang lebih bermakna maka kamu bisa kok mengesampingkan urusan ini.